Tuesday, February 27, 2018

Ingin Menikah Muda, Baikkah?



Ana: Tahun ini Ana baru berumur 19 tahun, tapi Ana sudah pengen banget nikah muda gitu um😅 nah jikalau memang ada yang berniat ingin mengkhitbah namun ikhwan tersebut umurnya terlampau jauh, umurnya 30an, dia semuanya baik, namun dia perokok, menurut Umi, gimana?


Umi: Yakin dia baik? Nggak masalah dengan perokoknya?

Ana : Iya sebenarnya Ana satu bisnis dengannya, Umi. Dia perokok banget, Ana singgung dikit tentang rokok dia malah kayak gimana gitu.

Umi : Usia Ana dalam pandangannya mungkin dianggap anak-anak dan kemungkinan sulit mengubah prilakunya. Pertimbangkan lagi.

Ana : Hmm

Umi : Apa alasan Ana mau nikah muda? Ingat, menikah untuk selamanya, bukan coba-coba, harus dipertimbangkan secara dewasa.

Ana : Alasan Ana pengen nikah muda, supaya ada yang membimbing, terus hijrah bareng, paling simpelnya setiap ada kajian biar bisa selalu hadir dan ontime gitu Um, dan Ana sepertinya sudah siap lahir batin, namun sampai saat sekarang belum ada yang benar-benar mau khitbah Ana😂

Umi : Itu gambaran ideal, sebuah romantisme yang diharapkan, tapi tidak semua pernikahan bisa seromantis itu. Berkeluarga itu serius, bukan hanya masalah romantisme, pikirkan amanah-amanah yang menjadi konskuensi sebuah pernikahan.

Ana : Ana paham, nggak semua pernikahan seperti itu, tapi kalau salah satunya ingin membangun gambaran seperti itu, mungkin, kan?

Umi : Harus kedua belah pihak, dan itu terlihat dari orangnya. Terlalu berat mengubah gaya hidup orang lain.

Ana : Masyaallah, jawaban Umi sangat meyakinkan hati, sangat! Syukron Umi, sangat membantu sekali.

***

Anak muda belia, memang sangat baperan. Sedikit saja melihat keromantisan pasangan muda, merasa diri sudah benar-benar siap menikah. Orang tua mungkin menganggapnya mabuk kepayang.

Bersyukur jika dalam kebaperannya, kegalauannya, dia mau bertanya untuk mengingatkan kenyataan hidup, sehingga terhindar dari pengambilan keputusan yang tergesa-gesa dan emosional.

Tidak ada jaminan banyaknya usia menunjukkan kedewasaan, tetapi terobsesi nikah muda semata sebuah kebanggaan, itu sangat berbahaya, mengingat amanah setelah menikah bukan hal ringan, butuh persiapan keilmuan dan kepahaman.

Sunday, February 18, 2018

Bagaimana Cara Bersabar Merawat Orang Tua Tanpa Mengganggu Keluarga?


Assalamu'alaikum wr.wb.

Umi, saya bingung, bagaimana harus bersikap.

Saya anak kelima dari 7 bersaudara, 5 laki-laki, 2 perempuan. Ibu saya usia 88 tahun, sudah pikun dan tinggal di rumah saya. Saudara saya tidak ada yang mau ibu tinggal di rumah mereka dalam waktu lama, mereka tidak tahan dengan manja, cerewet dan egoisnya.

Di sisi lain, suami saya mulai terganggu, walaupun di awal ikhlas ibu tinggal di rumah. Dan anak-anakpun sering komplein, juga sering jadi sasaran omelan ibu. Suami juga tidak suka ada orang asing tinggal di rumah, misalnya saya mencari tenaga yang bisa membantu merawat ibu.

Bagaimana caranya supaya saya tetap bisa merawat ibu tanpa mengganggu ketentraman keluarga?

Ibu Arti

***

Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarokatuh.

Mendengar penuturan Ibu, saya sangat bisa memahami. Ibu ingin memberikan yang terbaik untuk orang tua, suami dan anak-anak, tetapi kadangkala kondisi seolah tidak berpihak pada keinginan mulia itu.

Banyak alasan yang mengaharuskankan kita menghormati ibu, tetapi sebagai istri punya kewajiban kepada suami dan anak-anak.

Saya membayangkan, jika di posisi Ibu Arti, bagaimana perasaan dan beratnya beban moral. Berbagai pemikiran mungkin muncul untuk alternatif solusinya:

1. Mengharap Ibu memahami keadaan dan tidak terlalu menuntut? Rasanya sulit, mengingat kondisinya yang sudah pikun. Ibarat anak, pikiran beliau mungkin hanya berorientasi pada dirinya, apa yang diinginkan dan bagaimana mendapatkannya.

2. Mengharap suami menambah kesabarannya? Bukankah selama ini beliau sudah melakukannya, merelakan istrinya berbagi perhatian untuk merawat ibu yang secara aturan agama lebih tepat kalau dibawah tanggung jawab anak yang laki-laki. Sedang Ibu, sebagai istri sudah menjadi amanah untuk suaminya.

3. Mengharap anak lebih bersabar dengan perlakuan nenek? Hmm, namanya anak-anak, tentu pemikirannya belum bisa diharapkan bisa menerima kondisi itu, dan sikapnya belum bisa diharapkan konsisten.

4. Meminta saudara yang laki-laki? Mereka sudah jelas-jelas keberatan, entah lagi istrinya. Bukan mereka tidak tahu aturan agama, tapi masih berat melaksanakannya. Tidak mungkin juga, kan menuntut mereka di pengadilan atas kewajiban perawatan orang tua?

Dari beberapa kondisi di atas, kira-kira apa yang paling mungkin dilakukan?

1. Perbaiki kualitas komunikasi dengan suami agar tetap ridho ibu tinggal di rumah.

2. Kepada anak, tanamkan nilai-nilai pendidikan terkhusus bab berbuat baik kepada orang tua. Tidak setiap orang tua punya kesempatan memberi teladan kepada anak, bagaimana praktek berbuat baik pada orang tua.

3. Atur ruangan sehingga ibu bisa mendapatkan ruangan yang agak terpisah dengan suami dan anak-anak.

4. Cari perawat yang bisa menemani ibu, kalau memang suami tidak suka, bicarakan untuk minta izinnya mencari perawat yang tidak menginap.

5. Jadikan semua ini sebagai ujian kesabaran untuk meningkatkan nilai di hadapan Allah, ibu merupakan salah satu pintu surga bagi anaknya dan suami pemegang salah satu kunci surga bagi istrinya.

Saturday, February 17, 2018

Bagaimana Menghadapi Anak yang Menyalahkan Orang Tua?


Assalamu'alaikum warahmatullahi wa barokatuh.

Umi, saya punya 3 orang anak, usianya 11tahun, 20 tahun, dan 21 tahun. 
Yang pertama saat ini kuliah S1 sudah semester akhir,  sudah menyusun skripsi.  Yang kedua bekerja,  yang ketiga kelas 6 MI. 

Saat ini yang sedang ada masalah anak kedua. Sekarang sifatnya jauh sekali dengan masa kecilnya, padahal dulu anak saya ini penurut, selalu tau dengan keadaan orang tua, dari kelas 1 MI saja puasa wajib penuh, bahkan setiap sholat jumat, wajib, selalu di shaff paling depan, sekolah pun selalu dapat peringkat. 

Sekarang dia selalu memberontak, merasa nggak diurusi, katanya yang diurusi mbaknya saja, padahal saya sebagai orang tua nggak begitu, saya usahakan berbuat adil pada anak-anak. 

Masalahnya begini, waktu dia lulus SMK, mau masuk kuliah tapi sama Bapaknya suruh rehat satu tahun, soalnya ada kendala masalah biaya, sedangkan bapaknya hanya bekerja sebagai guru honorer di sd. 

Sekarang saya suruh kuliah sudah tidak mau, katanya sudah tua, dia bilang mau bekerja ke Korea saja. Jujur, sebetulnya saya lebih senang kalau anak saya kuliah. Gimana, ya Umi  solusinya, sedangkan saya dan suami saat ini bekerja di Malaysia.  Terimakasih.

***

Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarokatuh.
Nggak perlu mengelak kalau anak menyalahkan sikap kita, minta maaf saja kalau memang dianggap begitu, yang penting sekarang bagaimana solusi terbaiknya. 

Orang tua menginginkan yang terbaik bagi anaknya, tetapi belum tentu pilihannya tepat untuk anak. Dibicarakan saja, usia 20 tahun sudah cukup dewasa menentukan pilihan hidupnya. 

Sukses tidak harus kuliah dulu, intinya, kuliah bisa sewaktu-waktu, kalau memang sekarang dia ingin bekerja. Yang penting, anak taat pada Allah, sebagai apapun dia.


Terkadang, orang tua juga perlu evaluasi diri saat menginginkan anaknya melakukan sesuatu yang menurutnya baik dan demi masa depan yang lebih menjanjikan. Sesuaikah keinginannya dengan kondisi saat ini? 

Sahabat Rasulullah, Ali bin Abi Thalib pernah berpesan, didiklah anakmu untuk zamannya, artinya,orang tua harus berusaha membaca perubahan zaman, agar tepat memberikan pendidikan terbaik yang tepat untuk anaknya.

Contoh, dulu ukuran sukses manakala seseorang berprestasi di dunia akademik kemudian bekerja jadi PNS, tetapi di zaman ini, kesuksesan ada yang mengukurnya dengan berapa jumlah uang yang bisa diperolehnya sedini mungkin. Terbukti, sekarang orang berlomba-lomba berpenghasilan dari internet. Bagaimana anak-anak sudah mampu berpenghasilan puluhan juta sebulan.

Bukan orang tua mengalah dan mengikuti apa maunya anak, tetapi lebih tepatnya menyesuaikan dengan perkembangan zaman.

Friday, February 2, 2018

Bagaimana Mengatasi Remaja Mudah Tersulut Emosi?



Assalamu'alaikum wr.wb.

Umi, saya single parent, sudah hampir satu tahun. Sebelum meninggal, suami sakit agak lama, keluar masuk perawatan rumah sakit berkali-kali.

Saat ini, anak saya yang tua kelas 9, laki-laki, sedang yang kedua kelas 6, laki-laki juga.

Saya sedih, bingung, sering menangis merasakan bagaimana sikap anak pertama. Sering membantah, bersikap kasar, baik pada barang-barang maupun pada adiknya. Yang paling membuat saya sedih dan takut, kakak berani main tangan pada adiknya. Padahal tadinya dia anak manis, rajin sholat, sekarang jarang banget sholat. Kalau punya keinginan, harus dipenuhi, kalau tidak, dia akan marah dan adiknya sering jadi sasaran, karena menurutnya saya lebih sayang pada adiknya.

Kalau saya evaluasi, perubahan itu bermula saat saya sibuk merawat ayahnya, anak-anak diawasi neneknya di rumah. Menurut ibu saya, anak saya sering mengajak teman-temannya ke rumah, tingkah laku mereka kurang disukai ibu, sering menggunakan motor tanpa izin saya, motor kami ada tiga, dan sering dipinjamkan ke teman-temannya.

Saya bingung, Umi, bagaimana cara menghadapinya.

Ibu Mala

***

Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarokatuh.

Semoga Ibu Mala diberi kesabaran tanpa batas dalam menunaikan amanah mendidik anak-anak.

Saya memahami, bagaimana berat dan sedihnya Ibu dalam kesendirian menunaikan amanah, tetapi yakinlah, bahwa Allah tidak akan memberi beban melampaui batas kemampuan hamba-Nya.
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya..." (QS. Al-Baqoroh : 286)
Dengan keyakinan ini, kita optimis bahwa permasalahan ini akan terlewati, solusinya sudah ada, tinggal ikhtiar kita menemukannya, dengan izin Allah.

Tenang dalam menghadapi masalah, merupakan setengah dari solusi yang kita cari. Saat tenang, fikiran kita terbuka melihat banyak peluang.

Baik, kita urai satu persatu.

Ananda kelas 9, kira-kira usianya 14-15 tahun. Usia remaja yang sedang mencari jati diri, kadang bingung dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi, yang sebagian tidak dipahaminya.

Sebagai anak tertua, laki-laki, ananda mungkin merasa bertanggung jawab menggantikan ayahnya, tapi di sisi lain dia merasa belum punya kemampuan. Dorongan keremajaannya ingin selalu bersama dengan teman seusianya, yang bebas berekspresi tanpa beban tanggung jawab, semua yang dibutuhkan ditanggung orang tuanya.

Ananda butuh seseorang untuk mendengarkannya bicara, tapi dia bingung mau mengungkapkannya pada siapa. Di sini, ibu punya kesempatan untuk mengisi peluang ini, menjadi pendengar yang baik untuknya. Memang tidak mudah, apalagi dengan apa yang sudah dilakukannya selama ini. Yang dapat Ibu lakukan untuk mengambil hatinya, bersikap yang sesuai harapannya, minimal tidak menunjukkan sikap marah terhadap sikap-sikapnya. Kuncinya, jangan fokus pada kesalahan-kesalahannya, tapi pada kelebihan dan kebaikan yang sudah dilakukannya. Yakinlah, banyak hal baik yang ada pada diri ananda, yang sekarang sedang tertutup dengan sikap yang kurang menyenangkan orang sekitarnya.

Anak adalah manusia yang berhati, dan pembolak-balik hati adalah Allah. Jangan kendor berdoa, agar dilembutkan hatinya, dengan hati yang lembut, sikapnya juga akan lebih lembut dan mudah menerima nasihat.

Kalau sekiranya butuh bantuan orang lain, jangan segan minta tolong saudara, teman atau psikholog untuk membantu berkomunikasi dan mengurai masalahnya.

Semoga Ibu bisa melewati masa-masa sulit ini dengan sukses, penuh kesabaran dan lebih dekat pada Allah, aamiin.

Monday, May 2, 2016

Menghadapi Gangguan Anak Tetangga

Assalamu'alaikum.

Umi, baru dua bulan saya pindah domisili. Sekarang saya tinggal di pinggiran kota dengan suasana pedesaan.

Saya diamanahi pesantren kecil yang baru dibangun. Tetangga dekat satu-satunya memiliki dua orang anak, 6 tahun dan 4 tahun. Anak yang sulung ini sering membully anak pertama saya yang berumur belum cukup 4 tahun. Pembullian itu cukup parah...pernah memasukkan pasir ke mulut anak saya, mendorong sampai jatuh, memukul dannyang terakhir kemarin anak saya diikat leherhya pakai tambang bekas ikatan kambing dan berlaga seperti kambing...ditarik anak itu...dan tadi anak saya yang kedua, 2 tahun, dihajar dan ditendang perutnya gara-gara menginjak layangan anak itu.

Anak saya tidak bisa dilarang bermain dengan anak itu. Tadi saya keluar, dan minta tolong santri unruk menjaga anak saya, m

ain bersama anak-anak lainnya.

Ini sudah keterlaluan, Mi.

Saya harus bagaimana? Saya hanya bisa ngomongin anak itu, tapi nggak bisa bicara dengan ibunya, khawatir ribut.

Saya ingin tetap dalam dakwah ini, membina para santri, tapi kenapa mendapat gangguan yang membuat tidak nyaman, ya?

Tolong solusinya, ya, Mi.

Wassalam
Ibu Fat.

**********
Wa'alaikum salam warahmatullahi wa barokatuh.

Ibu Fat, yang semoga selalu di rahmati Allah.

Umi memahami kekhawatiran ibu, mari kita bahas satu persatu.

Yang jadi masalah saat ini adalah, ibu tidak suka anak ibu di bully oleh anak tetangga satu-satunya yang terdekat.

Bagaimana agar anak tidak diganggu dan keluarga ibu tetap nyaman bertetangga dengan keluarga anak yang suka membully itu?

Kita bahas satu-satu:

1. Tetangga dekat adalah saudara kita yang sesungguhnya. Dialah yang biasanya pertama menolong saat kita dalam kesulitan dan sebaliknya. Kita yang pertama menyaksikan kebahagiaannya. Wajar kalau kita berusaha semaksimal mungkin menjaga hubungan baik, sehingga bisa saling tolong menolong, minimal
tidak saling ganggu.

2. Tetangga adalah mitra terdekat dalam menciptakan lingkungan yang kondusif untuk tubuh kembang anak-anak kita. Dia yang pertama kita luruskan saat ada kebengkokan, tentu dengan cara yang tidak mematahkannya. Jadi benar-benar harus diperhitungkan cara memberitahukan perilaku anaknya, jangan sampai justru membuatnya merasa malu dan menarik diri atau menyakiti anaknya. Atau justru dia tidak terima anaknya disalahkan!  Hindari keributan apalagi sampai ke ranah hukum.

3. Sikapi anaknya dengan cara mendidik, bukan semata agar tidak mengganggu anak kita, tapi lebih pada upaya memperbaiki perilakunya. Didiklah dia sebagaimana kita ingin anak kita menjadi orang baik.

4. Lindungi dan jaga anak kita, jangan biarkan hanya berdua dengan anak tetangga tanpa ada orang dewasa didekatnya.

Berdakwah itu memang lazimnya penuh rintangan dengan berbagai bentuknya. Kalau memang ingin tetap di jalan dakwah, maka hadapilah. Andaipun meninggalkan dakwah, adakah jaminan hidup kita tanpa gangguan dan fitnah?

Thursday, April 21, 2016

Siapa Umi?

Hanya seorang perempuan biasa.

Karena usianya yang mulai menua, mungkin dianggap layak untuk dijadikan tempat bertanya.

Atas izin Allah, Umi diberi kepercayaan oleh teman-teman dari berbagai usia sebagai teman diskusi, terutama berkaitan dengan masalah yang sedang dihadapinya.

Pertanyaan itu biasanya diajukan saat bertemu tak sengaja, sengaja silaturahim, di forum pengajian atau acara resmi, lewat inbox facebook, BBM, Line, WA, telegram, telpon, sms.

Umi bukan orang yang banyak ilmu, tapi berusaha untuk merawat kepercayaan itu dengan menjawab sebisanya dan tak segan mengatakan belum tahu untuk hal-hal yang memang belum dipahaminya.

Dalam berinteraksi, Umi berusaha memposisikan diri sebagai ibu, kakak atau sahabat.

Tak ada jaminan jawaban Umi sebagai satu-satunya yang benar, tapi setidaknya memotivasi untuk terus berupaya menemukan solusi yang tepat.

Agar diskusi-diskusi itu bermanfaat untuk lebih banyak orang, maka Umi menuliskannya di blog tanpa menyebutkan nama sahabat yang sedang menghadapi masalah, fokus pada persoalan yang dihadapi dan alternatif solusi yang mungkin bisa dipilih.

Harapannya, apa yang dilakukan ini bermanfaat untuk orang banyak dan bernilai ibadah untuk Umi.