Assalamu'alaikum.
Umi, baru dua bulan saya pindah domisili. Sekarang saya tinggal di pinggiran kota dengan suasana pedesaan.
Saya diamanahi pesantren kecil yang baru dibangun. Tetangga dekat satu-satunya memiliki dua orang anak, 6 tahun dan 4 tahun. Anak yang sulung ini sering membully anak pertama saya yang berumur belum cukup 4 tahun. Pembullian itu cukup parah...pernah memasukkan pasir ke mulut anak saya, mendorong sampai jatuh, memukul dannyang terakhir kemarin anak saya diikat leherhya pakai tambang bekas ikatan kambing dan berlaga seperti kambing...ditarik anak itu...dan tadi anak saya yang kedua, 2 tahun, dihajar dan ditendang perutnya gara-gara menginjak layangan anak itu.
Anak saya tidak bisa dilarang bermain dengan anak itu. Tadi saya keluar, dan minta tolong santri unruk menjaga anak saya, m
ain bersama anak-anak lainnya.
Ini sudah keterlaluan, Mi.
Saya harus bagaimana? Saya hanya bisa ngomongin anak itu, tapi nggak bisa bicara dengan ibunya, khawatir ribut.
Saya ingin tetap dalam dakwah ini, membina para santri, tapi kenapa mendapat gangguan yang membuat tidak nyaman, ya?
Tolong solusinya, ya, Mi.
Wassalam
Ibu Fat.
**********
Wa'alaikum salam warahmatullahi wa barokatuh.
Ibu Fat, yang semoga selalu di rahmati Allah.
Umi memahami kekhawatiran ibu, mari kita bahas satu persatu.
Yang jadi masalah saat ini adalah, ibu tidak suka anak ibu di bully oleh anak tetangga satu-satunya yang terdekat.
Bagaimana agar anak tidak diganggu dan keluarga ibu tetap nyaman bertetangga dengan keluarga anak yang suka membully itu?
Kita bahas satu-satu:
1. Tetangga dekat adalah saudara kita yang sesungguhnya. Dialah yang biasanya pertama menolong saat kita dalam kesulitan dan sebaliknya. Kita yang pertama menyaksikan kebahagiaannya. Wajar kalau kita berusaha semaksimal mungkin menjaga hubungan baik, sehingga bisa saling tolong menolong, minimal
tidak saling ganggu.
2. Tetangga adalah mitra terdekat dalam menciptakan lingkungan yang kondusif untuk tubuh kembang anak-anak kita. Dia yang pertama kita luruskan saat ada kebengkokan, tentu dengan cara yang tidak mematahkannya. Jadi benar-benar harus diperhitungkan cara memberitahukan perilaku anaknya, jangan sampai justru membuatnya merasa malu dan menarik diri atau menyakiti anaknya. Atau justru dia tidak terima anaknya disalahkan! Hindari keributan apalagi sampai ke ranah hukum.
3. Sikapi anaknya dengan cara mendidik, bukan semata agar tidak mengganggu anak kita, tapi lebih pada upaya memperbaiki perilakunya. Didiklah dia sebagaimana kita ingin anak kita menjadi orang baik.
4. Lindungi dan jaga anak kita, jangan biarkan hanya berdua dengan anak tetangga tanpa ada orang dewasa didekatnya.
Berdakwah itu memang lazimnya penuh rintangan dengan berbagai bentuknya. Kalau memang ingin tetap di jalan dakwah, maka hadapilah. Andaipun meninggalkan dakwah, adakah jaminan hidup kita tanpa gangguan dan fitnah?